A. Kesatuan Nusantara
Dalam Kebhinekaan Indonesia
Zaman reformasi sepertinya menghapuskan semua yang
ada dengan latar kepentingan demi kebebasan, demokrasi dan sebagainya. Tidak
bisa dilepaskan juga, lagu-lagu kesatuan Nusantara hampir semuanya musnah dari
tanyangan radio dan televisi. Dulu televisi Indonesia setiap malam
mengumandangkan lagu Garuda Pancasila, demikian juga Radio Republik Indonesia.
Semuanya ini seolah menjadi sosialisasi tentang kesatuan dalam kebhinekaan di
Indonesia.
Ada dua pelajaran penting yang harus dilihat dari
sejarah Indonesia modern sebagai cerminan bagaimana kesediaan mayoritas
'mengalah' demi kesatuan Indonesia. Yang pertama adalah kesediaan menerima
Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan kedua, adalah dihapuskannya kata-kata
syariat Islam pada Pancasila seperti yang pernah tercantum pada Piagam Jakarta.
Bahasa Melayu boleh dikatakan sebagai bahasa kecil di Nusantara dibandingkan
dengan bahasa Jawa yang didukung penutur mayoritas, dan mayoritas masyarakat
Islam juga tidak mempermasalahkan dihilangkannya kata syariat Islam tersebut
dalam Pancasila kita. Padahal, jika misalnya di tahun 1945 dua komponen ini
memaksakan diri untuk memakai identitas mereka, mungkin bukan merupakan
pekerjaan yang terlalu menyusahkan. Tetapi sejarah kemudian mencatat bahwa
kemauan mengalah dari pihak mayoritas, justru memberikan hasil yang lebih mayor
lagi, yaitu Kesatuan Negara Republik Indonesia dengan akar kebhinekaan.
Negara kesatuan dalam kebhinekaan inilah menjadi
prestasi nasional yang sesungguhnya dan kemudian disosialisasikan kepada
generasi-generasi yang lahir setelah tahun 1945.
Sosialisasi menjadi kata kunci bagi negara kesatuan
yang berbhineka seperti Indonesia. Sosialisasi merupakan upaya penyampaian
pesan-pesan budaya, nilai dan norma kepada generasi yang bertujuan menjaga
ajegnya nilai-nilai budaya panutan dari masyarakat yang bersangkutan.
Di Indonesia, sosialisasi itu tidak hanya terlihat
dalam bentuk simbolis seperti cengkeraman kaki burung garuda Pancasila tetapi
juga verbal dalam bentuk nyanyian dan ungkapan serta formal dalam bentuk
pendidikan sosial. Pendidikan ini tidak saja di sekolah, juga di masyarakat.
Lagu dari Sabang Sampai Merauke, Garuda Pancasila, Nyanyian Pulau Kelapa adalah
pesan nilai yang sangat dikenal masyarakat sejak masih berpendidikan dini
(sekolah dasar dan taman kanak-kanak). Cara seperti ini akan mampu membentuk
rasa bhineka dalam kesatuan pada saat mereka besar nanti.
Dalam konteks pendidikan, secara jelas ada
pendidikan Moral Pancasila, Kewarganegaran, Kewiraan yang semuanya
mempersatukan berbagai perbedaan yang ada di Nusantara. Yang paling fenomenal
adalah Penataran P4, sebuah kegiatan sosialisasi besar-besaran di masa Orde
Baru dimana seluruh kompenen masyarakat mendapatkan sosialisasi ini tanpa
kecuali.
Di masa Orde Baru, sosialisasi tentang kebhinekaan
itu berlangsung sukses, di samping karena ketegasan dan kepentingan politik
pemerintah, juga karena arus globalisasi masih belum sederas sekarang.
Kepentingan politik pemerintah adalah stabilitas nasional untuk mendukung
pembangunan, baik ekonomi maupun sosial. Ketika ada pembajakan Woyla tahun
1982, pemerintah langsung menghukum mati tokoh-tokoh yang dipandang berada di
belakangnya. Penjahat kakap macam Kusni Kasdut tanpa ampun dihukum mati. Pada
waktu itu masih belum ada intrusi-instrusi maya masuk ke Indonesia sehingga
kontrol sangat bisa dilakukan dan masyarakat tidak terlalu dipengaruhi oleh
pihak-pihak luar.
Persoalan kemudian muncul di zaman reformasi.
Sosialisasi yang dilaksanakan pada masa Orde Baru, secara serampangan dipandang
dan digeneralisir sebagai sebuah upaya politis pemerintah yang bersangkutan
untuk mengajegkan kekuasannya. Reformasi kemudian seolah menyalahkan seluruh
sosialisasi tersebut. Padahal yang harus diperhatikan adalah bahwa dari sudut
kepentingannya, sosialisasi itu bisa dipilah menjadi dua.
Pertama, sosialisasi untuk kepentingan pemerintah
dan kedua, sosialisasi untuk kepentingana negara. Pengumandangan Bapak
Pembangunan, kebulatan tekad dan penataran besar-besaran P4 mungkin bisa
dikatakan sebagai sosialisasi demi kepentingan pemerintah Orde Baru. Tetapi
pelajaran Moral Pancasila, penataran P4 untuk kalangan tertentu, semisal untuk
pegawai-pegawai baru di tingkat pemerintah seharusnya tetap dipertahankan
karena ini berguna bagi kepentingan negara. Zaman reformasi sepertinya
menghapuskan semua yang ada dengan latar kepentingan demi kebebasan, demokrasi
dan sebagainya. Tidak bisa dilepaskan juga, lagu-lagu kesatuan Nusantara hampir
semuanya musnah dari tanyangan radio dan televisi. Dulu televisi Indonesia
setiap malam mengumandangkan lagu Garuda Pancasila, demikian juga Radio
Republik Indonesia. Semuanya ini seolah menjadi sosialisasi tentang kesatuan dalam
kebhinekaan di Indonesia.
Kegagalan Sosialisasi
Kasus penusukan jemaat HKBP di Bekasi baru-baru ini
merupakan cermin dan kegagalan sosialisasi dari kesatuan dalam kebhinekaan
Indonesia. Barangkali memang ada masalah dalam hal lahan dan pendirian bangunan
tempatt sembahyang di sana. Akan tetapi penusukan terhadap anggota masyarakat
yang hendak melakukan persembahyangan, bukan merupakan cara yang bisa
dibenarkan untuk mengungkapkan kekecewaan. Ini adalah masalah yang serius yang
mesti diperhatikan oleh pemerintah sebab dasar dari pembentukan Indonesia itu
adalah kebhinekaan. Cukup jelas terlihat bahwa rasa kebhinekaan itu tercoreng
saat terjadinya penusukan di Bekasi itu.
Menangkap pelaku dan menghukumnya adalah salah satu
solusi dari persoalan ini. Akan tetapi yang jauh lebih penting adalah
melanjutkan sosialisasi tentang kebhinekaan dan kesatuan tentang Indonesia.
Kuis-kuis di televisi, situs kersatuan, ringtone telepon soluler, para pencipta
lagu harus berlomba-lomba menciptakan lagu dengan tema kebhinekaan dalam
kesatuan seperti halnya serial 'Nusantara' dari Koes Plus.
* Zaman reformasi sepertinya menghapuskan semua yang
ada dengan latar kepentingan demi kebebasan, demokrasi dan sebagainya.
* Pelajaran Moral Pancasila, penataran P4 untuk
kalangan tertentu, semisal untuk pegawai-pegawai baru di tingkat pemerintah
seharusnya tetap dipertahankan karena ini berguna bagi kepentingan negara.
* Melanjutkan sosialisasi tentang kebhinekaan dan
kesatuan tentang Indonesia.
Sumber:
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailopiniindex&kid=7&id=4313.
B) Tanggapan
terhadap Pemilu
Sekedar informasi, bahwa selama ini saya belum
pernah ikut serta dalam pemilu satu kali pun, seingat saya. Dan, pendapat saya
terkait keikutsertaan dalam pemilu kali ini pun masih bersifat tentatif, dapat
berubah sekiranya saya mendapatkan argumen lain yang lebih kuat, sebagaimana
halnya dulu pun saya tidak berpendapat sebagaimana yang sekarang ini ^_^
Sebelum masuk ke dalam pembahasan, saya ingatkan
bahwa masalah ini masih debatable di kalangan ulama kita. Syaikh Ibn
al-‘Utsaimin pernah ditanya oleh ikhwah dari Indonesia, kalau tidak salah
sampai dua kali, apakah kaum muslimin Indonesia ikut serta dalam pemilu atau
tidak, dan beliau memfatwakan untuk turut serta dalam pemilu. Namun sebagian
ulama lain, semisal Syaikh Muqbil, melarang secara mutlak keikutsertaan dalam
pemilu, dengan alasan pemilu dan demokrasi merupakan sistem yang mengandung
berbagai macam kebatilan bahkan kekufuran (namun bukan di sini tempat untuk
membahas kebatilan sistem demokrasi dan pemilu).
Saya pribadi untuk saat ini cenderung kepada
pendapat Syaikh Ibn al-’Utsaimin. Berikut adalah alasannya….
Pada tulisan sebelumnya telah saya sampaikan bahwa
keikutsertaan seseorang dalam pemilu tidak melazimkan bahwa yang bersangkutan
meyakini demokrasi dan pemilu sebagai sistem yang benar, namun bisa jadi karena
pertimbangan maslahat dan mudharat, atau usaha untuk mendapatkan mudharat yang
paling ringan.
Sahabat ‘Umar Ibn al-Khaththab berkata, “Bukanlah
orang yang berakal itu adalah yang dapat mengetahui kebaikan dari keburukan,
namun orang yang berakal adalah yang mampu mengetahui yang terbaik dari dua
keburukan.” (periksa misalnya awal-awal kitab Raudhatul Muhibbin, karya Imam
Ibnul Qayyim)
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Poros syariat dan taqdir
(madar asy-syar’ wal qadar), di mana kepadanya lah kembali penciptaan dan
perintah (al-khalq wal amr), adalah mengedepankan kemaslahatan yang paling
besar, meskipun harus kehilangan maslahat yang lebih rendah daripadanya, serta
memasuki kemudharatan yang paling ringan dalam rangka mencegah kemudharatan
yang lebih besar.” (periksa misalnya ad-Da` wad Dawa` atau al-Jawab al-Kafi,
dan Ahkam Ahl adz-Dzimmah)
Bagaimana penjelasan hal tersebut terkait
keikutsertaan dalam pemilu?
Secara realitas, jika Anda tidak ikut serta dalam
pemilu, atau menjadi ‘golput’, apakah Anda dapat terlepas dari sistem
demokrasi? Jika jawabannya adalah iya, yakni dengan ketidakikutsertaan Anda
beserta rekan2 Anda maka pemilu menjadi batal atau Anda dapat terlepas dari
sistem demokrasi serta berganti menuju sistem yang lebih baik dan islami, maka
saya dengan tidak ragu menyatakan bahwa keikutsertaan dalam pemilu pada kondisi
ini hukumnya haram.
Namun pada kenyataannya Anda belum dapat lepas dari
sistem demokrasi, baik ikut pemilu maupun tidak. Karena itu, apabila Anda
diminta memilih, antara hidup dalam sistem demokrasi yang dipenuhi beragam
kejahatan, korupsi, ketidakadilan, penindasan, dll, atau hidup dalam sistem
demokrasi yang masih mengandung nilai-nilai kebaikan, seperti kejujuran,
keadilan, tidak adanya korupsi, dll, maka manakah di antara keduanya yg akan
Anda pilih? Jawabnya tentu Anda menginginkan demokrasi yang di dalamnya lebih
banyak mengandung nilai-nilai kebaikan. Jika demikian, lalu apakah Anda akan
bersikap apatis, diam berpangku tangan begitu saja dengan tidak ikut serta dalam
pemilu, ataukah Anda ikut serta dalam pemilu untuk mendapatkan apa yang
diinginkan, yaitu mendapat yang terbaik dari dua keburukan?
Misalkan saja, terdapat komunitas muslim yang hidup
dalam negeri kufur dengan penguasa yang kafir. Katakanlah semisal komunitas
muslim di Amerika. Komunitas muslim tersebut tidak hijrah karena mereka masih
dapat mengerjakan kewajiban agama dan mereka dapat berdakwah. Pada suatu
ketika, negeri tersebut mengadakan pemilu. Ada dua kandidat pemimpin yang
muncul. Keduanya sama-sama kafir. Namun yang satu sikapnya lebih adil dan lebih
toleran terhadap kaum muslimin, sementara yang lain lebih keras permusuhannya
terhadap kaum muslimin. Komunitas muslim tersebut, katakanlah jumlahnya sekitar
25% dari total penduduk, dibolehkan untuk memberikan suaranya dalam pemilu.
Sekiranya Anda adalah bagian dari komunitas muslim
tersebut, secara jujur, siapakah yang Anda inginkan untuk terpilih jadi
penguasa, apakah yang sikapnya lebih toleran kepada kaum muslimin ataukah yang
lebih keras permusuhannya? Pertanyaan selanjutnya, maka apakah kaum muslimin
akan diam saja, tidak memberikan suara mereka? Padahal dengan jumlah suara kaum
muslimin yang cukup signifikan besar kemungkinan mereka mampu menjadikan
kandidat yang lebih toleran terhadap kaum muslimin tersebut sebagai penguasa.
Katakanlah kandidat yang lebih keras permusuhannya
terhadap kaum muslimin memperoleh 45% suara, sementara kandidat yg lebih
toleran memperoleh 30% suara. Apabila kaum muslimin, yg dalam contoh ini
memiliki 25% dari total suara, tidak bertindak dan tidak memberikan suara
mereka untuk kandidat yang lebih toleran niscaya kandidat yang lebih keras
permusuhannya tersebut akan menempati posisi pimpinan, di mana hal ini akan
lebih memudharatkan kaum muslimin.
Pada contoh di atas, bagi kaum muslimin yang
mengikuti pemilu, dapatkah dikatakan bahwa mereka ridha terhadap kekufuran
penguasa berikut sistem yang ada? Jawabnya tentu saja tidak, namun
permasalahannya terkait dengan pertimbangan yang terbaik di antara dua mudharat
(akhaffudh dhararain).
Hal yang sama dapat dianalogikan untuk pemilu yang
akan berlangsung di negeri kita. Meskipun kondisinya sedikit berbeda, namun
substansinya tidak keluar dari permisalan di atas. Paham kan cara
penganalogiannya? Semoga… ^_^
Selanjutnya… dalam hal ini timbul beberapa
pertanyaan yang membutuhkan jawaban:
Mungkin ada yang akan mengatakan bahwa sistem Islam
yang kita cita-citakan tidak akan terealisir dengan jalan demokrasi plus
pemilu.
Kita katakan bahwa kita sepakat dengan yang
bersangkutan. Sistem yang islami dan ideal tidak akan terbentuk dengan cara
yang tidak islami. Jika tujuan Anda adalah Jakarta, namun Anda mengambil rute
ke Bandung maka Anda tidak akan sampai kepada tujuan.
Namun, kita hidup pada realita dan bukan utopia.
Kita menginginkan maslahat yang besar dengan penerapan sistem yang islami dan
ideal di masa yang akan datang, namun kita juga harus menolak kemudharatan
sesuai kemampuan pada masa yang berdiri di hadapan kita. Jika keduanya
memungkinkan untuk dapat dilakukan, maka mengapa tidak dilakukan?
Pertanyaan, siapa yang akan menjamin bahwa orang
yang kita pilih itu akan bertindak lurus sebagaimana sebelum ia dipilih?
Bukankah ia dapat berubah ketika menerima jabatan?
Jawabnya, wahai Saudaraku, sesungguhnya Allah tidak
membebani kita atas apa yang di luar kemampuan dan jangkauan pikiran kita,
namun Allah hanya membebani kita dengan apa yang kita mampu. Jika Anda hendak
memilih ketua pengurus masjid, misalnya, di mana ketika itu ada dua kandidat,
yang satu lebih shalih dan lebih kompeten dibandingkan yang lain (secara track
record), maka manakah yang akan Anda pilih? Bukankah tidak wajar jika kemudian
Anda memilih yang kurang shalih dan kurang kompeten? Bagaimana jika yang shalih
dan kompeten tadi ternyata kemudian berubah di kemudian hari? Hal yang sama
juga berlaku pada apa yang kita pilih ketika pemilu.
Jika yang track record-nya lebih baik saja dapat
berubah menjadi buruk, maka bukankah besar kemungkinan yang track record-nya
lebih buruk akan berubah menjadi bertambah buruk? Namun sekali lagi hal ini di
luar kemampuan kita dan kita tidak terbebani untuk itu. Wallahu a’lam bish
shawab.
Pertanyaan berikutnya, apakah ini dalam
tolong-menolong dalam keburukan, di mana berarti bisa jadi kita mendorong
saudara kita untuk masuk ke dalam sistem yang penuh dengan kebatilan, bahkan
kekufuran?
Jawab: Mengenai masuknya saudara kita parlemen, maka
itu pilihannya (ringkasnya demikian, karena ini kembali membutuhkan kajian
khusus yang tidak dibahas di sini). Anda memilih atau tidak memilih ia sudah berniat
dan bahkan berbuat untuk masuk ke dalam parlemen (sehingga hal itu sudah masuk
dalam catatan amalnya). Yang penting untuk Anda perhatikan dan lakukan adalah
bagaimana justru bagaimana mengambil keburukan yang paling ringan untuk
mencegah keburukan yang lebih besar, dengan pandangan secara agregat, integral
dan komprehensif, dan hal ini tentu bukan termasuk tolong-menolong dalam
keburukan, namun justru upaya pencegahan keburukan yang lebih luas.
Pertanyaan selanjutnya, bukankah poros demokrasi
berkisar antara mayoritas-minoritas, di mana mayoritas mengalahkan minoritas.
Jika kaum muslimin yang baik tersebut adalah minoritas, maka apa gunanya mereka
ikut pemilu? Toh mereka akan kalah dan tertelan oleh kelompok mayoritas yang
dalam hal ini adalah buruk. Dan, sekiranya kaum muslimin yang baik tersebut
adalah mayoritas, bukankah mereka dapat membatalkan pemilu dan sistem demokrasi
itu sendiri melalui ketidakikutsertaan dalam pemilu dan kekuatan mereka? (Ini
adalah argumen saya waktu menolak pemilu beberapa waktu yang lalu ^_^)
Tidak demikian, wahai Saudaraku, yang Anda sebutkan
itu mungkin benar secara teoritis namun pada realita sebenarnya tidak terjadi.
Yang jelas, sekali lagi, kita hidup dalam realita dan bukan utopia. Memang
benar bahwa dalam sistem demokrasi minoritas pasti akan kalah oleh mayoritas.
Dan, adalah benar bahwa pada saat ini yang baik tersebut hanyalah minoritas.
Tetapi bukankah ‘kegelapan yang masih memiliki cahaya’ itu lebih baik
dibandingkan ‘kegelapan yang benar-benar gulita’? Bukankah ‘cahaya’ yang
sedikit tersebut memungkinkan untuk bertambah luas dengan adanya proses
interaksi dan dakwah? Meskipun mungkin juga bahwa justru ‘cahaya tersebut
itulah yang ditelan oleh kegelapan’. Yang jelas, bukankah keberadaan sedikit
orang yang memiliki kebaikan yang menduduki posisi yang strategis itu lebih
baik ketimbang seluruh posisi strategis itu dikuasi oleh orang-orang yang
buruk?
Sumber:
http://salafyitb.wordpress.com/2007/06/19/pendapat-lain-tentang-pemilu/.
C) Calon
Pemimpin / Presiden ideal itu seperti apa?
Sebagai seorang yang memiliki kewarganegaraan
Indonesia, tentu saja kita sangat mendambakan sosok seorang pemimpin yang ideal
untuk bangsa yang tercinta ini. Mungkin sejak bangsa ini terlepas dari penjajahan
oleh bangsa asing, sosok pemimpin yang memang kita cita-citakan belum sempat
ada yang terwujud. Pasti kita semua saling berbeda pendapat tentang
kriteria-kriteria yang diidamkan untuk dijadikan seorang pemimpin yang ideal,
namun semuanya dipastikan menginginkan sosok atau pribadi yang baik untuk
memimpin bangsa tercintanya ini kelak di kemudian hari.
Para pemimpin bangsa Indonesia yang sebelumnya
bukanlah orang yang biasa-biasa saja atau tidak masuk dalam kriteria-kriteria
idaman sebagai seorang pemimpin, namun ada beberapa sifat yang mungkin masih
dirasakan kurang untuk dapat dikatakan sebagai pemimpin bangsa Indonesia yang
ideal. Mungkin ada beberapa dari kita yang sempat merasakan dan mengingat
kepemimpinan dari berbagai pemimpin bangsa Indonesia, seperti gaya kepemimpinan
Soekarno, Soeharto, B.J. Habibe, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri,
dan yang sekarang masih menjabat yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Terlepas dari
kekurangan para pemimpin bangsa Indonesia terdahulu, setidaknya mereka sudah
berjasa sedikit-banyaknya untuk membangun bangsa yang sama-sama kita cinta ini.
Berikut ini adalah sifat-sifat yang harus dimiliki
oleh para calon pemimpin bangsa Indonesia agar menjadi pemimpin yang ideal bagi
warganya. Apabila dari sifat-sifat ini masih belum ada yang tercapai, maka
untuk para calon pemimpin bangsa Indonesia diharuskan secepatnya untuk lebih
banyak instropeksi diri dari segala kekurangan yang ada dan memotivasi diri
untuk memperbaiki segala sesuatu yang dianggap perlu untuk memajukan bangsa
Indonesia.
1. Memiliki sifat pancasila sila pertama (Ketuhanan
Yang Maha Esa)
Tidak akan pernah berarti pemimpin bangsa Indonesia
yang tidak mengamalkan sila pertama ini. Pemimpin yang tidak memiliki keyakinan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa tentu saja akan sangat sulit bagi dirinya untuk
membatasi segala keputusannya dengan aturan-aturan agama. Sehingga pemimpin ini
tidak akan menghiraukan segala keputusannya yang bertentangan dengan ajaran
agama apapun.
2. Memiliki sifat nasionalisme yang tinggi
Pemimpin bangsa Indonesia harus memiliki sifat
nasionalisme yang tinggi, sehingga tidak akan pernah rela apabila bangsanya
dianggap remeh terlebih lagi sampai dijatuhkan oleh bangsa lain. Hal ini
tergambar sangat jelas ketika kepemimpinan presiden Republik Indonesia yang
pertama yaitu Soekarno, yang dengan tegasnya melawan bangsa Malaysia yang
ketika itu menganggap remeh bangsa Indonesia.
3. Memiliki sifat kharismatik
Seorang pemimpin yang memiliki sifat seperti ini
akan lebih disegani oleh pengikutnya. Seorang pemimpin yang kharismatik ibarat
memiliki energi yang sangat luar biasa sehingga dapat menghipnotis para
pengikutnya. Terkadang seorang pengikut yang kita tanyakan mengapa mengikuti
pemimpinnya tersebut, ia akan merasa kesulitan untuk menjawabnya karena sifat
kharismatik dari pemimpin tersebut yang tidak dapat diungkapkan. Maka para
pengikut dari pemimpin yang kharismatik ini akan lebih mudah mengikuti segala
keputusan dari pemimpinnya, sehingga tidak akan sering terjadi perpecahan dan
pemberontakan diantara masyarakat.
4. Memiliki sifat visioner
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki
sifat visioner. Dimana seorang pemimpin harus memiliki perencanaan yang matang
sebelum ia menjabat sebagai seorang pemimpin. Sehingga ketika ia telah menjabat
sebagai seorang pemimpin maka ia tidak akan ragu untuk memulai strateginya dan
tidak akan menarik keputusan yang telah ia berlakukan. Seorang pemimpin yang
visioner akan terlihat sangat tegas atas segala keputusan-keputusannya. Apabila
pemimpin bangsa Indonesia dapat memiliki sifat seperti ini maka rakyatnya tidak
akan kebingungan atas segala keputusan pemimpinnya tersebut dan dapat mengikuti
keputusan atau peraturan tersebut dengan lapang dada.
5. Memiliki wawasan nusantara
Pemimpin yang memiliki wawasan nusantara diharapkan
dapat mewujukan persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional dan
turut serta menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia dalam rangka pencapaian
tujuan nasional. Tidak hanya itu, pemimpin ini juga memiliki cara pandang
terhadap bangsanya sendiri serta terhadap lingkungannya yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
6. Memiliki sifat kreatif dan inovatif
Sosok pemimpin yang kreatif dan inovatif adalah
sosok yang mungkin selama ini kita dambakan. Sosok pemimpin yang seperti inilah
yang mampu membawa perubahan bangsa Indonesia ke arah yang leebih baik lagi.
Sehingga bangsa kita yang tercinta ini tidak terpuruk dibandingkan
Negara-negara lain.
7. Memiliki sifat kritis dan solutif
Pemimpin yang dapat mengkritisi segala persoalan
yang terjadi adalah pemimpin yang peduli terhadap segala hal yang terjadi
terhadap bangsanya sendiri. Namun, bukan hanya kritis yang ditekankan dalam hal
ini tetapi pemimpin tersebut juga harus solutif terhadap hal yang telah ia
kritisi tersebut. Hal yang terjadi pada kepemimpinan di Indonesia adalah hanya
mampu kritis tetapi tidak dapat memberikan solusi yang konkret.
8. Memiliki kecerdasan yang tinggi
Pemimpin yang memiliki kecerdasan yang tinggi tentu
dapat berpikir lebih baik untuk perkembangan bangsanya sendiri. Pemimpin ini
juga dapat memberikan contoh bagi generasi penerus bangsa agar dapat membangun
bangsanya ke arah yang lebih baik.
9. Memiliki sifat disiplin
Disiplin yang dimaksud bukan hanya terhadap waktu,
dapat juga terhadap peraturan dan yang lainnya. Pemimpin yang disiplin akan
memberikan contoh yang positif terhadap rakyatnya agar tidak melanggar
peraturan-peraturan yang tela diberlakukan.
10. Memiliki sifat tanggung jawab
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bertanggung
jawab terhadap semua yang telah ia lakukan. Sosok ini tidak akan pernah
menutupi ataupun bersembunyi terhadap kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
Ia tidak akan pernah merasa malu untuk meminta maaf kepada rakyatnya apabila
melakukan kesalahan.
11. Memiliki sifat adil
Dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya atau dapat
berlaku adil terhadap seluruh rakyatnya tanpa terkecuali. Baik rakyat itu kaya
maupun miskin, apabila memang benar jangan dibuat menjadi salah dan yang salah
menjadi benar. Kita semua tentu mendambakan keadilan di negeri ini.
12. Memiliki sifat rela berkorban
Pemimpin yang ideal adalah yang memiliki sifat rela
berkorban, sehingga para pengikutnya akan selalu setia kepadanya. Terlebih lagi
apabila pemimpin tersebut rela untuk tidak diberikan bayaran demi kemajuan
bangsanya seperti presiden Paraguay yang bernama Fernando Lugo Mendez. Pemimpin
seperti ini tentu tidak akan merengek untuk meminta kenaikkan gaji bukan?
Sumber:
http://www.pewarta-indonesia.com/kolom-pewarta/kriteria-anggota-dpr/7695-menantikan-sosok-seorang-pemimpin-bangsa-yang-ideal-17m.html