Minggu, 17 November 2013

Definisi Negara, Hukum dan Masalah dalam Hukum

Tugas 2 Ilmu Sosial Dasar

Definisi Negara



Ada beberapa difinisi negara menurut para ahli :
a. Prof. Soenarko :
Negara adalah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souverien (kedaulatan).
b. O. Notohamidjojo :
Negara adalah organisasi masyarakat yang bertujuan mengatur dan memelihara masyarakat tertentu dengan kekuasaannya.
c. Prof. R. Djoko Soetono, SH :
Negara adalah organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada dibawah pemerintahan yang sama.
d. G. Pringgodigdo, SH :
Negara adalah organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang memenuhi persyaratan tertentu yaitu harus ada : Pemerintah yang berdaulat, wilayah tertentu dan rakyat yang hidup teratur sehingga merupakan suatu nation (bangsa).

e. Harold J. Laski :
Negara adalah persekutuan manusia yang mengikuti – jika perlu dengan tindakan paksaan – suatu cara hidup tertentu.
f. Dr. WLG. Lemaire :
Negara adalah sebagai suatu masyarakat manusia yang teritorial yang diorganisir.
g. Max Weber :
Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu masyarakat.
h. Roger H. Soltou :
Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan bersama atas nama masyarakat.
i. G. Jellinek :
Negara adalah organisasi dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu atau dengan kata lain negara merupakan ikatan orang–orang yang bertempat tinggal di wilayah tertentu yang dilengkapi dengan kekuasaan untuk memerintah.
j. Krenenburg :
Negara adalah organisai kekuasaan yang diciptakan sekelompok manusia yang disebut bangsa.
k. Plato :
Negara adalah persekutuan manusia yang muncul karena adanya keinginan manusia dalam memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam.
l. Aristoteles :
Negara adalah persekutuan manusia dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan sebaik-baiknya.

Untuk memudahkan kita dalam memahami pengertian negara, maka pengertian negara dapat kita kelompokkan :

a. Pengertian negara ditinjau dari Organisasi Kekuasaan.
Pengertian ini dikemukakan oleh Logemann dan Harold J. Laski. Logemann menyatakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan yang bertujuan mengatur masyarakatnya dengan kekuasaannya itu. Negara sebagai organisasi kekuasaan pada hakekatnya merupakan suatu tata kerja sama untuk membuat suatu kelompok manusia berbuat atau bersikap sesuai dengan kehendak negara itu.

b. Pengertian negara ditinjau dari organisasi Politik.

Dari sudut organisasi politik, negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik atau merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik. Sebagai organisasi politik negara berfungsi sebagai alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan antar manusia dan sekaligus menertibkan serta mengendalikan gejala–gejala kekuasaan yang muncul dalam masyarakat. Pandangan tersebut nampak dalam pendapat Roger H. Soltou dan Robert M Mac Iver. Dalam bukunya “The Modern State”, Robert M Mac Iver menyatakan : “Negara ialah persekutuan manusia (asosiasi) yang menyelenggarakan penertiban suatu masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah yang dilengkapi kekuasaan memaksa”.
Menurut RM Mac Iver, walaupun negara merupakan persekutuan manusia, akan tetapi mempunyai ciri khas yang dapat digunakan untuk membedakan antara negara dengan persekutuan manusia yang lainnya. Ciri khas tersebut adalah : kedualatan dan keanggotaan negara bersifat mengikat dan memaksa.
Negara sebagai organisasi politik mempunyai 2 (dua) tugas:
1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial agar tidak menjadi antagonisme yang membahayakan.
2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan–golongan kearah tercapainya tujuan masyarakat seluruhnya.
Dengan demikian negara sebagai organisasi politik mempunyai pengertian bahwa negara melalui kekuasaan dan wewenang yang dimilki hendak mewujudkan suatu tujuan demi kepentingan umum.

c. Pengertian negara ditinjau dari Organisasi Kesusilaan.

Menurut Friedrich Hegel : Negara adalah suatu organisasi kesusilaan yang timbul sebagai sintesa antara kemerdekaan universal dengan kemerdekaan individu. Negara adalah organisme dimana setiap individu menjelmakan dirinya, karena merupakan penjelmaan seluruh individu maka negara memiliki kekuasaan tertinggi sehingga tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi dari negara. Berdasarkan pemikirannya, Hegel tidak menyetujui adanya :
1. pemisahan kekuasaan karena pemisahan kekuasaan akan menyebabkan lenyapnya negara.
2. pemilihan umum karena negara bukan merupakan penjelmaan kehendak mayoritas rakyat secara perseorangan melainkan kehendak kesusilaan.
Dengan memperhatikan pendapat Hegel tersebut, maka ditinjau dari organisasi kesusilaan, negara dipandang sebagai organisasi yang berhak mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sementara manusia sebagai penghuninya tidak dapat berbuat semaunya sendiri.

d. Pengertian negara ditinjau dari Integritas antara Pemerintah dan Rakyat.
Menurut Prof. Soepomo, ada 3 teori tentang pengertian negara :
1) Teori Perseorangan (Individualistik)
Negara adalah merupakan sauatu masyarakat hukum yang disusun berdasarkan perjanjian antar individu yang menjadi anggota masyarakat. Kegiatan negara diarahkan untuk mewujudkan kepentingan dan kebebasan pribadi.
Penganjur teori ini antara lain : Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau, Herbert Spencer, Harold J Laski.
2) Teori Golongan (Kelas)
Negara adalah merupakan alat dari suatu golongan (kelas) yang mempunyai kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas golongan lain yang kedudukan ekonominya lebih lemah.
Teori golongan diajarkan oleh : Karl Marx, Frederich Engels, Lenin
3) Teori Intergralistik (Persatuan)
Negara adalah susunan masyarakat yang integral, yang erat antara semua golongan, semua bagian dari seluruh anggota masyarakat merupakan persatuan masyarakat yang organis. Negara integralistik merupakan negara yang hendak mengatasi paham perseorangan dan paham golongan dan negara mengutamakan kepentingan umum sebagai satu kesatuan.
Teori persatuan diajarkan oleh : Bendictus de Spinosa, F. Hegel, Adam Muller.
Berdasarkan pemikiran Soepomo, teori integralistik dipandang yang paling cocok dengan masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Bukti Indonesia menganut teori integralistik dinyatakan secara tegas dalam Penjelasan UUD 1945 yang memuat pokok–pokok pikiran pembukaan.

Definisi Hukum


Hukum adalah sebuah perkara yang selalu diucapkan oleh setiap golongan yang memiliki latar belakang yang berlainan; seperti ulama misalnya berkata “hukum solat adalah wajib”, atau seorang guru yang berkata pada muridnya “barangsiapa yang datang lambat akan dihukum berdiri selama satu jam”. Tidak luput dari ucapan seorang filosof yang berkata “hukum alam sudah menentukan hal tersebut”.
Akan tetapi, dari sekian orang yang mendengar kata-kata tersebut, sangat jarang yang mengerti apakah hukum itu sebenarnya, serta berbagai sosok yang berhubungan dengannya.
Agar dapat memahami apakah hukum itu, setiap perkara yang berkaitan dengan hukum itu haruslah diteliti, seperti unsur, ciri-ciri, sifat, fungsi, dan yang paling penting adalah tujuan dari wujudnya hukum tersebut.
Dengan mengetahui perkara-perkara ini, hukum dapat dimaknai dengan makna yang sebenarnya sehingga tidak akan menyisakan keraguan akan keberadaannya dari segi kenapa manusia perlu hukum.

Pengertian Hukum

Pada umumnya, pengertian hukum dapat diartikan sangat beragam sebagai berikut:

1. Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.
2. Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan jurisprudence (yurisprudensi).
3. Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas. Pandangan ini sering dijumpai di dalam masyarakat tradisionil.
4. Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan: “setiap orang yang kos, hukumnya harus membayar uang kos”. Sering terdengar dalam pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.
5. Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah; kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini dapat berupa norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang berlakunya mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi pelanggar.
6. Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda dengan penjelasan angka 1, dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku (hukum positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan mengikat yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum, keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk hierarkis.
7. Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung nilai tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang berlaku secara umum.
8. Hukum diartikan sebagai ilmu; hukum yang diartikan sebagai pengetahuan yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut adalah syarat ilmu pengetahuan.
9. Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum); sebagai sistem ajaran, hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan das-sein. Sebagai das-sollen, hukum menguraikan tentang hukum yang dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan. Sedangkan sisi das-sein mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat. Antara das-sollen dan das-sein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus sejalan. Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum.
10. Hukum diartikan sebagai gejala sosial; hukum merupakan suatu gejala yang berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertuuan untuk mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik. Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota masyarakat dapat berjalan aman dan tertib.
Hukum secara terminologis pula masih sangat sulit untuk diberikan secara tepat dan dapat memuaskan. Ini dikarenakan hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu definisi. Kenyataan ini juga adalah apa yang diungkapkan Dr. W.L.G. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”.

Sebagai gambaran, Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, memberi contoh-contoh tentang definisi Hukum yang berbeda-beda sebagai berikut:

1. Aristoteles: “Particular law is that which each community lays down and applies to its own members. Universal law is the law of nature” (Hukum tertentu adalah sebuah hukum yang setiap komunitas meletakkan ia sebagai dasar dan mengaplikasikannya kepada anggotanya sendiri. Hukum universal adalah hukum alam).
2. Grotius: “Law is a rule of moral action obliging to that which is right” (Hukum adalah sebuah aturan tindakan moral yang akan membawa kepada apa yang benar).
3. Hobbes: “Where as law, properly is the word of him, that by right had command over others” (Pada dasarnya hukum adalah sebuah kata seseorang, yang dengan haknya, telah memerintah pada yang lain).
4. Phillip S. James: “Law is body of rule for the guidance of human conduct which are imposed upon, and enforced among the members of a given state” (Hukum adalah tubuh bagi aturan agar menjadi petunjuk bagi kelakuan manusia yang mana dipaksakan padanya, dan dipaksakan terhadap ahli dari sebuah negara).
5. Immanuel Kant: “Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan”.

Akan tetapi, walaupun tidak mungkin diadakan suatu definisi yang lengkap tentang apakah hukum itu, namun Drs. E. Utrecht, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, telah mencoba membuat sebuah batasan, yang maksudnya sebagai pegangan bagi orang yang sedang mempelajari ilmu hukum. Batasan tersebut adalah “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”.

Selain dari Utrecht, sarjana hukum lainnya juga telah berusaha merumuskan tentang apakah hukum itu:

1. Prof. Mr. EM. Meyers: “Hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya”.
2. Leon Duquit: “Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”.
3. SM. Amin, SH.: “Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terjamin”.
4. MH. Tirtaatmidjaja, SH.: “Hukum adalah seluruh aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahagiakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaan dan didenda”.
5. Wasis Sp.: “Hukum adalah perangkat peraturan baik yang bentuknya tertulis atau tidak tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang, mempunyai sifat memaksa dan atau mengatur, mengandung sanksi bagi pelanggarnya, ditujukan pada tingkah laku manusia dengan maksud agar kehidupan individu dan masyarakat terjamin keamanan dan ketertibannya”.

Unsur, Ciri-Ciri dan Sifat Hukum

Setelah melihat definisi-definisi hukum tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3. Peraturan itu bersifat memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Selanjutnya, agar hukum itu dapat dikenal dengan baik, haruslah mengetahui ciri-ciri hukum. Menurut C.S.T. Kansil, S.H., ciri-ciri hukum adalah sebagai berikut:

a. Terdapat perintah dan/atau larangan.
b. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.
Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata-tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang dinamakan dengan ‘Kaedah Hukum’.
Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar suatu ‘Kaedah Hukum’ akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran ‘Kaedah Hukum’) yang berupa ‘hukuman’.

Pada dasarnya, hukuman atau pidana itu berbagai jenis bentuknya. Akan tetapi, sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:

  • Pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.

  • Pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.

Sedangkan sifat bagi hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak semua orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum itu.

Fungsi dan Tujuan Hukum

Keterangan yang telah dikemukakan memiliki sebuah kesimpulan yaitu hukum selalu melekat pada manusia bermasyarakat. Dengan berbagai peran hukum, maka hukum memiliki fungsi: “menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul”. Lebih rincinya, fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat dapat terdiri dari:

1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukum memiliki sifat dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
3. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
4. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.
5. Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.
6. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.
Dari sekian penegertian, unsur, ciri-ciri, sifat, dan fungsi hukum, maka tujuan dari perwujudan hukum itu haruslah ada. Sesuai dengan banyaknya pendapat tentang pengertian hukum, maka tujuan hukum juga terjadi perbedaan pendapat antara satu ahli dengan ahli yang lain. Berikut ini beberapa pendapat ahli hukum tentang tujuan hukum:

1. Prof. Lj. Van Apeldorn: Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Demi mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat Apeldorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori tujuan hukum, teori etis dan utilitis.
2. Aristoteles: Tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.
3. Prof. Soebekti: Tujuan hukum adalah melayani kehendak negara yakni mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Dalam melayani tujuan negara, hukum akan memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.
4. Geny (Teori Ethic): Menurut Geny dengan teori etisnya, bahwa tujuan hukum adalah untuk keadilan semata-mata. Tujuan hukum ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai etis. Adil atau tidak, benar atau tidak, berada pada sisi batin seseorang, menjadi tumpuan dari teori ini. Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap batin orang menjadi ukuran untuk menentukan warna keadilan dan kebenaran.
5. Jeremy Bentham (Teori Utility): Menurut Bentham dengan teori utilitasnya, bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Maka teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah sebanyak-sebanyaknya.
6. J.H.P. Bellefroid: Bellefroid menggabungkan dua pandangan ekstrem tersebut. Menurut Bellefroid, isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas keadilan dan faedah.
7. Prof. J Van Kan: Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingannya tidak dapat diganggu. Dengan tujuan ini, akan dicegah terjadinya perilaku main hakim sendiri terhadap orang lain, karena tindakan itu dicegah oleh hukum.

Jadi Sebagai kesimpulan, Pengertian hukum itu sangat banyak karena terdapat banyak sisi pandang terhadap hukum, akan tetapi, sebuah definisi bagi hukum yang dapat menjadi pedoman adalah “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”
Unsur-unsur hukum adalah peraturan tingkah laku manusia yang diadakan oleh badan resmi, bersifat memaksa, terdapat sanksi tegas bagi pelanggarnya; dan ciri-cirinya adalah terdapat perintah dan/atau larangan serta harus dipatuhi setiap orang; sedangkan sifatnya adalah mengatur dan memaksa.Fungsi hukum adalah sebagai alat pengatur tata tertib, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, sebagai sarana penggerak pembangunan, sebagai penentuan alokasi wewenang, sebagai alat penyelesaian sengketa, berfungsi memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah; dengan tujuan mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil, dapat melayani kehendak negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat, demi keadilan dan/atau berfaedah bagi rakyat yang mana dapat menjaga kepentingan rakyat.

Masalah Hukum

  Persamaan Kedudukan Warga Negara di Bidang Hukum dan Pemerintahan
Persamaan di depan hukum (equality before law) mengharuskan setiap warga negara diperlakukan adil dan sama, tanpa pandang bulu oleh negara. Prinsip persamaan di depan hukum tertuang dalam peraturan:
a.       UU no. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
b.      UU no. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
c.       UU no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
d.      UU no. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Penerapan prinsip di depan hukum adalah:
a.       Setiap orang dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan mutlak dari pengadilan (asas praduga tidak bersalah)
b.      Setiap orang yang menjadi terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum
c.       Pengadilan tidak boleh membeda-bedakan orang
            Persamaan warga negara di bidang pemerintahan adalah setiap warga negara memperoleh perlakuan yang sama dari pemerintah. Penerapan prinsip persamaan dalam bidang pemerintahan adalah pendaftaran PNS dibuka untuk umum, pemberian pelayanan kesehatan yang sama, dan subsidi pendidikan kepada semua anak SD dan SMP

2. Persamaan Kedudukan Warga Negara di Bidang Politik
            Kedudukan warga negara dalam bidang politik tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945, bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama untuk menunaikan haknya di bidang politik, seperti berserikat dan berpendapat. Prinsip persamaan warga negara dalam bidang politik tertuang juga dalam dalam peraturan seperti:
a.       UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
b.      UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DRPD, dan DPD
c.       UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

      3. Persamaan Kedudukan Warga Negara di Bidang Ekonomi
      Tertuang dalam Pasal 23, 27, 33, dan 34 UUD 1945.
      Contoh penerapannya adalah berhak mencari dan mendapatkan pekerjaan, adanya jatah raskin yang sama bagi yang tidak mampu, adanya kesempatan berusaha yang sama bagi semua orang

      4. Persamaan Kedudukan Warga Negara di Bidang Sosial Budaya
       
       Tertuang dalam Pasal 31, 32, dan 34 UUD 1945.
      Contoh penerapannya adalah mendirikan sekolah sampai ke pelosok wilayah, mendirikan puskesmas, berhak mengembangkan budayanya, dan pembangunan jaringan komunikasi yang menjangkau daerah terpencil

5. Persamaan Kedudukan Warga Negara di Bidang Pertahanan dan Keamanan
            Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pertahanan negara. Pertahanan negara diwujudkan dengan keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara. Menurut UU No. 3 Tahun 2002 dinyatakan bahwa bela negara dapat berbentuk pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran, pengabdian sebagai TNI/Polri, dan pengabdian sesuai profesi.

Maraknya pelanggaran Hukum di Indonesia

Maraknya Pelanggaran HAM di Indonesia membuat kita menyadari bahwa hukum di Indonesia ini perlu di perbaiki dan di benahi tatanannya. Bagaimana tidak seperti kasus yang terjadi oleh Seoarang ibu yang harus di penjara akibat mencabut bibit karet. Dan jika kalian lihat mereka yang melakukan monopoli uang rakyat di biarkan bebas dan terus menghisapi hingga rakyat berada di garis kemiskinan. Silahkan baca jugaContoh Surat Kuasa yang sudah admin tuliskan sebelumnya.

Mengenai kasus pelanggaran ham di Indonesia, admin sudah menyiapkan Contoh Pelanggaran HAM yang bisa kalian jadikan sebagai bahan materi dalam tugas PKN ataupun buat anda yang mengambil kuliah jurusan hukum. Berikut ini contohnya :

a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
Pembunuhan masal (genisida)
Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
Penyiksaan
Penghilangan orang secara paksa
Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis

b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
Pemukulan
Penganiayaan
Pencemaran nama baik
Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
Menghilangkan nyawa orang lain

Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat. Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiiwa besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, seperti :

a. Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.

b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.

c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.

d. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.

e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).

f. Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-luka).

g. Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat (1999)
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.

h. Kasus Ambon (1999)
Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang merambat kemasala SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang memakan banyak korban.

i. Kasus Poso (1998 – 2000)
Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso.

j. Kasus Dayak dan Madura (2000)
Terjadi bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan banyak korban dari kedua belah pihak.

k. Kasus TKI di Malaysia (2002)
Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan penganiayaan oleh majikan sampai gaji yang tidak dibayar.

l. Kasus bom Bali (2002) DAN beberapa tempat lainnya
Telah terjadi peristiwa pemboman di Bali, yaitu tahun 2002 dan tahun 2005 yang dilakukan oleh teroris dengan menelan banyak korban rakyat sipil baik dari warga negara asing maupun dari warga negara Indonesia sendiri.

KORUPSI

Kenapa banyak Korupsi di Indonesia?

1.Kurangnya Kesejahteraan
Jika seseorang mempunyai iman yang lemah orang itu akan tidak sejahtera orang itu ingin uang dan orang akan korupsi.biasanya orang korupsi karena terpaksa karena ada sesuatu seperti utang yang belum terbayar.namun bagi orang kaya sih saya rasa penyebab korupsinya sih bukan itu.

2.Kemauan tidak ada batasnya
walapun orang yang korupsi itu adalah penjabat yang tinggi atau orang kaya namun karena Manusia itu tidak memiliki rasa puas jadi penjabat/orang kaya yang ada di indonesia akan tetap korupsi walapun dia sudah sangat kaya.

3.Masuk Lingkungan Korupsi
Indonesia Banyak Korupsi karena keadaan lingkungan yang suka korupsi,jika berkenalan di lingkungan yang tidak ada korupsi dan juga sejahtera orang itu tidak akan korupsi.namun jika dia berkenalan dengan lingkungan yang suka korupsi,orang itu mudah untuk korupsi.

Cara Mengatasi Korupsi

jawaban yang tepat untuk mengatasi korupsi: 1.tingkatkan pengetahuan masyarakat tentang hukum 2.bersihkan aparatur hukum dari KKN 3.tegakan hukum tanpa tebang pilih 4.tingkatkan kesejahteraan pegawai negara 5.hilangkan budaya menyuap dari masyarakat 6.sosialisasi anti korupsi di gencarkan,media masa wajib menayangkan anti korupsi dengan gratis. 7.pengaduan lewat sms di tayangkan di media masa 8.JAM 12.00-13.00 WIB merupakan siaran anti korupsi di setiap TV swasta nasional. 9.kotak-kotak pengaduan di perbanyak di tempat-tempat umum dan kpk harus menindak lanjuti. 10.penempatan satu regu KPK di setiap instansi pemerintah layaknya satpam 11. Ketegasan Hukum. Ini syarat mutlak, tanpa ini semua upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhasil. Hukum harus diberlakukan tanpa pandang bulu, tidak perduli anak, suami, istri, keluarga, selingkuhan, dll. kalau salah harus tetap diproses menurut hukum yang berlaku. 12. Tingkatkan kesejahteraan aparat pemerintahan untuk mengurangi kebutuhan untuk melakukan korupsi. 13. Tingkatkan pendidikan masyarakat sehingga menjadi masyarakat melek hukum. 14. Sistim operasional pemerintahan harus dirubah sehingga pegawai negeri dan aparat TNI/POLRI punya suatu sistim dan prosedur yang jelas untuk masalah kepegawaian. Selama ini masalah kepegawaian banyak tergantung kepada uang. 15. Sistim politik juga harus dirubah. Untuk raising fund, partai tidak boleh mentarget anggotanya berdasarkan jabatan yang dimiliki. 16. Tingkatkan keimanan dan pendidikan budi pekerti supaya masyarakat sadar mana yang benar dan mana yang salah. 17. Rubah tridarma para penegak hukum (Hakim) supaya tidak cuma menjaga nama baik korps hakim tapi menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan berdasarkan kemanusiaan dan ketuhanan. 18. HUKUM MATI PARA KORUPTOR ditengah lapangan Monas supaya menjadi contoh penegakkan hukum anti korupsi.
Hukuman yang pantas untuk para Koruptor

korupsi,kata yang sering menjadi pemberitaan media setiap hari,dari berbagai kasus seperti proyek hambalang,wisma atlit sampai kasus perpajakan.koruptor di indonesia rasanya sangat “nyaman” dalam mendapatkan hukuman,sehingga semakin merajalela kasus-kasus korupsi.banyak koruptor-koruptor yang memperkaya dirinya sendiri tanpa mempedulikan negaranya.di samping itu juga sering kali terjadinya korupsi berjamaah sehingga susah untuk menjerat semuanya,kebanyakan hanya di akar bawahnya saja,susah untuk menjerat sampai lapisan atas.
paling berbahaya jika korupsi sampai melibatkan partai.karena jika itu terjadi maka seringkali akan menguap begitu saja kasusnya.hanyak segelintir orang saja yang menjadi “tumbal” terkuaknya korupsi.
seharusnya koruptor di hukum sejera mungkin,sehingga orang yang akan melakukan korupsi akan berpikir ulang jika tertangkap.inilah hukuman yang pantas untuk koruptor menurut penulis :
1. di fakir miskinkan
koruptor yang tertangkap basah melakukan korupsi,seharusnya di sita semua barang-barangnya,dari rumah,mobil,dan segala yang dia punya,sampai sekecil peniti pun harus di sita,kecuali baju yang melekat pada badannya saja yang tak di sita,yang lainnya di sita sampai habis tak bersisa.dan di black list,tidak boleh melamar pekerjaan di semua perkantoran seluruh indonesia,baik yang swasta maupun yang negeri.biar tahu rasa nya menjadi orang gelandangan.
2. di gantung di atas monas
keren tuh usul Anas Urbaningrum,yang mengatakan kalo dia terbukti korupsi dalam kasus hambalang maka Anas siap di gantung.wah,berarti kalo benar pak anas terlibat kasus korupsi hambalang,mesti siap-siap dong.mudah-mudahan sih ucapan dia benar kalo dia tak terlibat kasus hambalang,tapi bagaimana ucapannya nazar yang mengatakan kalo Anas urbangrum ikut terlibat.seharusnya buktikan dong pak anas kalo sampean tak terlibat,jangan bisanya klarifikasi di media saja…heehehe
di gantung di monas,jika semua koruptor yang sudah terbukti bersalah,di hukum di gantung di monas akan lebih menakutkan para koruptor tuh,tapi bisa bisa monas di ganti monumen koruptor gantung,singkatannya apa yah?….hihihihi
3.di tonjok wajib pajak seindonesia
jika setiap wajib pajak menonjok pelaku koruptor,rasannya ada kepuasannya tersendiri,hitung saja sendiri berapa wajib pajak di indonesia ini.yang pasti ada jutaan orang wajib pajak.seandainya tiap orang yang membayar pajak menonjok 3 kali pelaku koruptor.berapa kali koruptor itu kena pukulan orang seluruh indonesia…….hahahaha,sadis
4. di hukum mati
hukuman yang terlalu ringan buat pelaku koruptor sangatlah melukai rakyat indonesia,seolah olah hukum di negeri ini hanya tajam kebawah tapi tumpul ke atas.koruptor seharusnya di hukum mati,sehingga akan mengurangi adanya korupsi.karena akan berpikir ulang jika tertangkap melakukan korupsi.
korupsi memang kejahatan paling sadis,sehingga perlu adanya hukuman yang paling jera.berapa juta orang yang di rugikan akibat korupsi negara.jika pencuri motor saja di hukum berat,bahkan ada yang sampai meregang nyawa akibat tertangkap dan di keroyok warga.lalu kenapa koruptor tidak di hukum berat saja.
semoga saja para tikus-tikus koruptor segera lenyap dari negara indonesia tercinta ini.



Definisi Individu, Keluarga dan Masyarakat

Tugas 1 Ilmu Sosial DasarDefinisi Individu
Individu berasal dari kata latin, individuum” yang artinya tak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang dapat untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia sebagai keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan, demikian pendapat Dr. A. Lysen.
Individu menurut konsep Sosiologis berarti manusia yang hidup berdiri sendiri. Individu sebagai mahkluk ciptaan Tuhan di dalam dirinya selalu dilengkapi oleh kelengkapan hidup yang meliputi raga, rasa, rasio, dan rukun.
1. Raga, merupakan bentuk jasad manusia yang khas yang dapat membedakan antara individu yang satu dengan yang lain, sekalipun dengan hakikat yang sama
2. Rasa, merupakan perasaan manusia yang dapat menangkap objek gerakan dari benda-benda isi alam semesta atau perasaan yang menyangkut dengan keindahan
3. Rasio atau akal pikiran, merupakan kelengkapan manusia untuk mengembangkan diri, mengatasi segala sesuatu yang diperlukan dalam diri tiap manusia dan merupakan alat untuk mencerna apa yang diterima oleh panca indera.
4. Rukun atau pergaulan hidup, merupakan bentuk sosialisasi dengan manusia dan hidup berdampingan satu sama lain secara harmonis, damai dan saling melengkapi. Rukun inilah yang dapat membantu manusia untuk membentuk suatu kelompok social yang sering disebut masyarakat.
Dalam pandangan psikologi sosial, manusia itu disebut individu bila pola tingkah lakunya bersifat spesifik dirinya dan bukan lagi mengikuti pola tingkah laku umum. Ini berarti bahwa individu adalah seorang manusia yangtidak hanya memiliki peranan-peranan yang khsa didalam lingkungan sosialnya, meliankan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Didalam suatu kerumunan massa manusia cenderung menyingkirkan individualitasnya, karena tingkah laku yang ditampilkannya hamper identik dengan tingkah laku masa.Dalam perkembangannya setiap individu mengalami dan dibebankan berbagai peranan, yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup dengan sesame manusia. Seringakli pula terdapat konflik dalam diri individu, karena tingkah laku yang khas dirinya bertentangan dengan peranan yang dituntut masyarakatnya. Namun setiap warga masyarakat yang namanya individu wajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya sebagai bagian dari perilaku sosial masyarakatnya. Keberhasilan dalam menyesuaikan diri atau memerankan diri sebagai individu dan sebagai warga bagian masyarakatnya memberikan konotasi “maang” dalam arti sosial. Artinya individu tersebut telah dapat menemukan kepribadiannya aatau dengan kata lain proses aktualisasi dirinya sebagai bagian dari lingkungannya telah terbentuk.
Definisi Keluarga
Keluarga
Keluarga
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam satu periuk.
Terdapat beberapa definisi keluarga dari beberapa sumber, yaitu:

  1. Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga (Duvall dan Logan, 1986).
  1. Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya,1978 ).
  1. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Departemen Kesehatan RI, 1988). 

Suatu keluarga setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Terdiri dari orang-orang yang memiliki ikatan darah atau adopsi.
  1. Anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mereka membentuk satu rumah tangga.
  1. Memiliki satu kesatuan orang-orang  yang berinteraksi dan saling berkomunikasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu, anak dan saudara.
  1. Mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas.

Fungsi KeluargaTerdapat 5 fungsi keluarga dalam tatanan masyarakat, yaitu :Fungsi Biologis
  • Untuk meneruskan keturunan
  • Memelihara dan membesarkan anak
  • Memberikan makanan bagi keluarga dan memenuhi kebutuhan gizi
  • Merawat dan melindungi kesehatan para anggotanya
  • Memberi kesempatan untuk berekreasi
Fungsi Psikologis 
  • Identitas keluarga serta rasa aman dan kasih sayang 
  • Pendewasaan kepribadian bagi para anggotanya 
  • Perlindungan secara psikologis
  • Mengadakan hubungan keluarga dengan keluarga lain atau masyarakat
Fungsi Sosial Budaya atau Sosiologi
  • Meneruskan nilai-nilai budaya
  • Sosialisasi
  • Pembentukan noema-norma, tingkah laku pada tiap tahap perkembangan anak serta kehidupan keluarga
Fungsi Sosial
  • Mencari sumber-sumber untuk memenuhi fungsi lainnya
  • Pembagian sumber-sumber tersebut untuk pengeluaran atau tabungan
  • Pengaturan ekonomi atau keuangan
Fungsi Pendidikan
  • Penanaman keterampilan, tingkah laku dan pengetahuan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi lain.
  • Persiapan untuk kehidupan dewasa.
  • Memenuhi peranan sehingga anggota keluarga yang dewasa

Bentuk KeluargaKeluarga dibagi menjadi beberapa bentuk berdasarkan garis keturunan, jenis perkawinan, pemukiman, jenis anggota keluarga dan kekuasaan.Berdasarkan Garis Keturunan 
  1. Patrilinear adalah keturunan  sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah.
  1. Matrilinear adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa ganerasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.
Berdasarkan Jenis Perkawinan
  1. Monogami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami dengan seorang istri.
  1. Poligami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami dengan lebih dari satu istri.
Berdasarkan Pemukiman
  1. Patrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat dengan keluarga sedarah suami.
  1. Matrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat dengan keluarga satu istri
  1. Neolokal adalah pasangan suami istri, tinggal jauh dari keluarga suami maupun istri.
Berdasarkan Jenis Anggota Keluarga
  1. Keluarga inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
  1. Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambahkan dengan sanak saudara. Misalnya : kakak, nenek, keponakan, dan lain-lain.
  1. Keluarga Berantai (Serial Family) adalah keluarga yang terdiiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu keluarga inti.
  1. Keluarga Duda/janda (Single Family) dalah keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian.
  1. Keluarga berkomposisi (Composite) adalah keluarga yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama.
  1. Keluarga Kabitas (Cahabitation) adalah dua orang yang terjadi tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.
Berdasarkan Kekuasaan
  1. Patriakal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah dipihak ayah.
  1. Matrikal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah pihak ibu.
  1. Equalitarium adalah keluarga yang memegang kekuasaan adalah ayah dan ibu.
Definisi Masyarakat


Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat bandsukuchiefdom, dan masyarakatnegara.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.

Sumber definisi masyarakat: http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat

Senin, 04 November 2013

Ketidakadilan Dunia Pendidikan

MUTU PENDIDIKAN DI ATAS KETIDAK ADILAN KEBIJAKAN


Persoalan yang senantiasa menjadi sorotan dalam dunia pendidikan kita adalah masih saja pada seputar kualitas output (lulusan) yang ditandai dengan rendahnya standar nilai ujian akhir nasional yang ditetapkan pemerintah. Rendahnya standar ini secara tidak langsung menggambarkan harapan kita terhadap kualitas lulusan yang rendah pula. Namun demikian di sisi lain ternyata bahwa, sebagian besar para praktisi pendidikan di lapangan sangat "resah" dengan adanya aturan penetapan standar kelulusan siswa tersebut, mengingat kualitas prosesnya yang masih belum dapat menjamin pencapaian angka standar.
Standar 5,0 memang suatu angka yang relatif sangat rendah untuk dapat diterima sebagai suatu gambaran terhadap kualitas hasil dari proses pendidikan yang diharapkan. Namun demikianlah realitas yang ada. Sementara bagi sebagian besar pihak praktisi di lapangan yang sangat memahami kualitas proses yang dilakukan menganggap itu (baca; 5,0) sebagai standar yang sangat tinggi untuk dapat dicapai oleh para siswanya.
Padahal, standar 5,0 yang diatur oleh pemerintah tidak didasarkan atas target mutu hasil yang dicita-citakan. Akan tetapi lebih merupakan hasil penyesuaian terhadap kenyataan di lapangan. Dan Penetapan angka 5,0 ini tidak dapat memberikan cukup energi bagi para praktisi untuk memacu kinerja dan meningkatkan kualitas proses pendidikan. Apalagi untuk mencapai standar tersebut masih adanya rekayasa dalam proses pelaksanaan ujian baik oleh pengawas ujian maupun oleh panitia ujian atau guru. Sehingga kita tidak pernah benar-benar dapat memperoleh gambaran tentang mutu hasil dari proses pendidikan yang kita lakukan.
Meski demikian ada juga sebagian kecil sekolah yang dapat melampaui standar yang ditetapkan pemerintah dengan mudah. Hal ini menggambarkan adanya disparitas mutu pendidikan, dan kenyataannya memang disparitas yang terjadi cukup tajam. Ketika misalnya kita mencoba membandingkan antara sekolah negeri dengan swasta, kemudian antara sekolah yang berada di bawah lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dengan yang berada di bawah Departemen Agama, maka terlihat dengan jelas terjadi perbedaan yang sangat tajam dari aspek kulitas proses dan kualitas hasil.
Persoalan disparitas dalam aspek kualitas proses dan kualitas hasil pendidikan ini, di samping faktor-faktor yang lain, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh ketidak adilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan bidang pendidikan. Hal ini (ketidak adilan dalam penerapan kebijakan bidang pendidikan), sangat dirasakan terutama oleh lembaga pendidikan swasta(private education) misalnya dalam distribusi bantuan anggaran biaya operasional pendidikan, distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru) ke sekolah-sekolah, distribusi bantuan baik yang berbentuk pengadaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan, distribusi pemberian beasiswa, distribusi peluang dan kesempatan mengakses informasi tentang pendidikan, dan lain sebagainya.
Persoalan ketidak adilan pemerintah ini bahkan juga dirasakan sangat jelas oleh para guru terutama oleh mereka yang berada di sekolah-sekolah swasta, misalnya dalam mengakses peluang dan kesempatan bahkan informasi untuk membina dan meningkatkan karir profesi keguruan. Demikian juga lembaga pendidikan swasta selama ini sering menjadi obyek pungli bagi oknum pejabat dan pengawas pendidikan.
Di sisi lain pada sekolah-sekolah negeri, pemerintah hampir memberikan seluruh biaya operasional, berbagai jenis bantuan sarana dan fasilitas, tenaga guru, dan bahkan akses informasi lebih besar dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta. Meski demikian masih banyak sekolah negeri yang memungut "uang iuran pendidikan" (atau dengan istilah yang lain) yang cukup besar, dan bahkan lebih besar dari lembaga pendidikan swasta. Hal ini semakin menambah beban orang tua, sehingga banyak yang mengeluhkan semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendidikan pada lembaga pendidikan negeri.
Terhadap persoalan distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru), juga menunjukkan ketidak adilan yang sangat nyata baik secara kualitatif maupun kuantitatif diberikan kepada sekolah negeri. Sehingga terkesan pemerintah lebih ingin menunjukkan diri sebagai pemain pendidikan yang siap berkompetisi secara tidak adil dengan masyarakat (swasta), dari pada sebagai regulator yang mengatur dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya kompetisi yang sehat antar masyarakat (lembaga pendidikan) itu sendiri.
Terhadap distribusi bantuan sarana prasarana dan fasilitas seperti pengadaan buku & alat pembelajaran, semua tahu terjadi ketimpangan yang luar biasa, misalnya di beberapa sekolah negeri terdapat buku-buku dan alat pembelajaran yang kurang efektif karena jumlahnya banyak. Sementara di sekolah-sekolah swasta tidak ada, kecuali sekolah itu mampu membeli sendiri.
Dalam distribusi beasiswa, juga terdapat kebijakan yang kurang memenuhi rasa keadilan, misalnya dari segi jumlah penerima beasiswa di sekolah swasta selalu lebih sedikit dari sekolah negeri, padahal kenyataan menunjukkan bahwa, orang tua yang relatif mampu secara ekonomi kecenderungannya memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Dan bagi yang tidak mampu lebih memilih ke sekolah swasta. Alasan utamanya sebagian besar bukan karena kemampuan/prestasi intelektual anaknya yang rendah, tetapi lebih dominan karena biaya pendidikan di sekolah negeri terlalu tinggi.
Kemudian dalam hal distribusi peluang untuk mengakses informasi dan kebijakan pendidikan juga terdapat ketidak adilan misalnya, untuk sosialisasi kebijakan dan sistem pendidikan, selalu saja yang menjadi sasaran utama adalah guru-guru/sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta terasa sangat kurang mendapat perhatian. Sehingga pemahaman tentang kurikulum/sistem pendidikan dan berabagai kebijkan di bidang pendidikan kurang komprehenship untuk dapat diimplementasikan dengan baik oleh mereka (tenaga kependidikan) yang berada di sekolah-sekolah swasta.
Demikianlah pemerintah tidak berupaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi lembaga pendidikan swasta untuk dapat berkompetisi dengan sekolah negeri secara adil. Padahal kalau kita pahami subyek sekaligus obyek pendidikan (siswa) itu baik di sekolah swasta maupun negeri semuanya adalah anak bangsa, warga negara yang memiliki hak sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 termasuk hasil amandemen.
Kenyataan ketidak adilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan di bidang pendidikan telah menunjukkan bahwa pemerintah kurang apresiatif terhadap inisiatif masyarakat untuk membangun dan mengelola sebuah lembaga pendidikan dalam rangka membantu pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara. Hal ini juga memberikan kesan bahwa hanya pemerintah yang mampu berhasil dalam mengelola pendidikan dengan kualitas yang baik.
Implikasi yang nyata dari ketidak adilan ini adalah terjadinya disparitas mutu hasil pendidikan yang sangat tajam. Bagaimana mungkin untuk kurikulum (materi), tujuan , target penguasaan materi dan dengan alat ukur yang sama kita dapat memperoleh hasil yang sama apabila sarana-prasarana, fasilitas, finansial, dan tenaga kependidikan yang jauh berbada secara kualitas maupun kuantitasnya. Mutu hasil pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas proses. Sementara kualitas proses sangat dipengaruhi oleh keberadaan fasilitas, sarana, tenaga guru (SDM), serta finansial.
Dari gambaran di atas, bijaksanakah pemerintah menagih janji mutu pendidikan sementara ketidak adilan dalam kebijakan pendidikan masih terus berjalan? Nampaknya tidaklah fair manakalah kompetisi dilaksanakan dalam situasi yang  kurang fair pula.


B. Ketidak adilan Kebijakan Pendidikan
Kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan, adalah isu sentral yang secara kodrati telah melekat dalam bingkai keinginan manusia. Para pendiri negara yakin, bahwa dengan bersatunya individu dalam naungan institusi, maka kepentingan tersebut di atas akan lebih mudah diwujudkan. Meskipun di tengah keyakinannya mereka sadar bahwa untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan itu masih membutuhkan kajian-kajian intensif dengan pisau analisis yang kritis. Sebab pencapaian cita-cita negara bisa dikatakan berada dalam kerangka evolutif.
Pemikiran tentang “Evolutif” kemudian melahirkan poin penting, bahwa perjalanan ke depan harus dikawal oleh nilai-nilai ideal agar tidak keluar dari koridor perencanaan semula. Pengawalan yang dimaksud adalah sebuah landasan normatif yang kelak akan dijadikan acuan dalam menentukan gerak langkah atau sebagai patron pergerakan. Landasan normatif ini kemudian dikenal dengan istilah ”konstitusi“.
Di Indonesia misalnya, konstitusi negara adalah UUD 1945. landasan ini berada di atas puncak menara hierarki dari segala aturan yang berlaku. Maksudnya, segala Undang-undang yang lahir kemudian tidak boleh bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar 1945. Kebijakan pendidikan seharusnya bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekwensi Indonesia menganut sistem politik demokrasi. Dengan diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang demokratis telah mendapat wadah pengejawantahannya secara jelas. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan pendidikan Indonesia secara umum dinilai belum memiliki orientasi yang jelas. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan pendidikan diorientasikan pada peningkatan mutu SDM dan pemerataannya di daerah.
Disamping itu pelaksanaan kebijakan yang ada masih tampak belum adanya koordinasi yang baik antara pusat dan daerah. Kondisi ini diperparah dengan adanya kecenderungan lemahnya kemauan politik pemerintah untuk menerapkan amanat konstitusi terutama menyangkut alokasi dana pendidikan. Lemahnya kemauan politik pemerintah tersebut, tampak tidak dipersoalkan oleh DPR dan Parpol. Ke depan agar supaya kebijakan pendidikan bersifat efektif, kontrol DPR dan Parpol harus kuat dan konsisten. Masyarakat juga harus melakukan tekanan (pressure) terus menerus. Hal ini penting karena ada kecenderungan kemauan dan kontrol serta tekanan tersebut lemah karena didominasi oleh pemilik modal (kuasa ekonomi).
Seperti pendapat John Rawls dalam Theory of Justice (1971), selain mengandung makna kejujuran, kebenaran, dan rasionalitaskeadilan juga mengandung manfaat dan kebajikan (ethic). Kejujuran, kebenaran, dan rasionalitas, mengandung prinsip persamaan hak dan kewajiban dalam situasi sama. Tetapi, jika kesamaan itu berakibat ketidaksamaan keuntungan, terutama jika mengakibatkan kurang beruntungnya pihak yang lemah, maka agar adil perlu ada pemihakan tegas kepada yang lemah.
Adalah John Dewey ( dalam Tilaar, 2003) filosof pendidikan yang melihat hubungan yang begitu erat antara pendidikan dan demokrasi. Dewey mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai demokrasi maka kita memasuki wilayah pendidikan. Pendidikan merupakan sarana bagi tumbuh dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan negara yang demokratis.
Pendidikan demokrasi sebagai upaya sadar untuk membentuk kemampuan warga negara berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting. Kemampuan partisipasi politik warga negara ini diperlukan agar demokrasi dalam arti pemerintahan dari mereka yang diperintah bisa berkembang secara maksimal. Karena kalau hanya mempercayakan kepada para pelaku dalam sistem politik dirasa kurang efektif. Lebih-lebih dewasa ini ada kecenderungan melemahnya moralitas publik di kalangan pejabat publik/ politisi. Melemahnya moralitas publik ditandai dengan merembaknya ‘demokratisasi korupsi’. Begitu pula dalam konteks otonomi daerah, ruhnya ada pada partisipasi masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di daerah masing-masing.Tanpa partisipasi masyarakat otonomi itu akan mati. Dengan kata lain demokrasi itu dapat diumpamakan sebagai jiwa dan otonomi daerah itu adalah pengejawantahannya. Dengan tingginya partisipasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dapat mendorong pada terwujudnya pemerintah yang transparan dan akuntabel. Pemerintah yang demikian merupakan pemerintah yang demokratis, dekat dengan rakyat sehingga menjadi perekat bangsa.
Sedangkan pentingnya pendidikan demokrasi antara lain dapat di lihat dari nilai – nilai yang terkandung di dalam demokrasi. Nilai-nilai demokrasi dipercaya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dalam semangat egalitarian dibandingkan dengan ideologi non-demokrasi.
            Terkait dengan masalah demokrasi pendidikan ini, telah jelas dinyaakan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dan dalam pasal 11  Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ayat (1) juga dinyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Dari konsideran undang-undang Sisdiknas tersebut, jelaslah bahwa perlakuan yang diskriminatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah tidak dibenarkan, lebih-lebih dalam sistem pendidikan. Karena semuanya itu adalah merupakan hak asasi dari seluruh warga negara untuk mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Dan perlu disadari pula bahwa jika perlakuan dalam dunia pendidikan saja telah mengalami perlakuan yang diskriminatif, maka bagaimana aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Bukankah itu bagian dari pengamalan nilai-nilai pendidikan yang diperoleh dari lembaga pendidikan.
Pendidikan kita boleh dikatakan sedang berada di era dikotomi. Pembedaan oleh pemerintah maupun masyarakat seperti tercermin dalam pemberian status terakreditasi versus tidak terakreditasi, unggul vs tidak unggul, modern vs konvensional, mahal vs murah, dan favorit vs tidak favorit, berpotensi menumbuhkan diskriminasi sosial yang tidak berkeadilan.
Sebagai bangsa yang memiliki unsur keragaman sistem sosial, aneka dikotomi adalah sah-sah saja dibuat. Masalah menjadi lain saat aneka kebijakan pemerintah di bidang pendidikan cenderung memberi ruang gerak sebagian kecil masyarakat kelas menengah ke atas untuk mengambil keuntungan sebanyak mungkin; mengabaikan kepentingan serta hak orang-orang miskin yang kian terpinggirkan oleh ketidakberdayaannya. Keadilan menjadi barang yang harus diperjuangkan oleh sebagian besar masyarakat miskin.
Fenomena ini dengan mudah bisa kita lihat. Kenyataan kini, sekolah-sekolah bermutu, unggul, favorit, dan kelas "akselerasi" dihuni anak-anak dari keluarga kaya yang mampu berinvestasi secara ekonomis, dan nyaris tidak ada akses bagi anak-anak dari keluarga miskin. Padahal, rendahnya nilai ujian (kemampuan akademik) anak-anak miskin, tidak terlepas dari faktor rendahnya kualitas hidup orang-orang miskin. Kalaupun ada sebagian kecil anak-anak keluarga miskin yang mampu berkompetisi, mereka mendapatkannya dengan usaha atau kerja keras berlipat ganda daripada usaha yang dikeluarkan anak-anak keluarga kaya.
Dikotomisasi pendidikan formal mandiri dan formal standar ini ditengarai akan berjalan mulus, karena pemerintah daerah juga memiliki nafsu sama. Daerah kabupaten/kota sedang bernafsu membuat minimal satu "sekolah unggul". Penajaman dikotomi sekolah bermutu-tidak bermutu, sekolah bagi orang kaya dan orang miskin, sekolah bagi anak bernilai ujian tinggi dan rendah sudah tidak tabu bagi sebagian besar pengambil keputusan di tingkat daerah.
Meski berstatus mandiri, pemerintah daerah tak segan-segan mengalokasikan anggaran pendidikan dari APBD guna mewujudkan sekolah elite. Para birokrat eksekutif dan legislatif daerah dengan mudah akan melakukan kompromi, karena sosok sekolah ini juga menjadi bagian aspirasi mereka sebagai anggota masyarakat kelas menengah atas. Tak menutup kemungkinan segala sumber dan energi pendidikan (human maupun non human) akan dikerahkan ke sekolah kebanggaan ini, dan keran anggaran untuk mengurus sekolah-sekolah lain dikecilkan karena dipandang tidak penting. Di era otonomi daerah, bupati/wali kota akan mudah menggunakan tangannya mengatur dan mengumpulkan sumber-sumber potensialnya guna memenuhi ambisi daerahnya memiliki sekolah elite.
Mimpi masyarakat bawah untuk dapat menggapai pendidikan bermutu kian jauh dari angan-angan. Kebijakan pemerintah kian menjauhkan keadilan dari jangkauan tangan-tangan orang miskin. Demi keadilan dan perlindungan bagi yang lemah, harus ada jaminan pemerintah yang mempertegas akses bagi orang miskin menjangkau sekolah-sekolah terbaik di daerahnya. Maka, kebijakan pemerintah harus memihak masyarakat miskin.
Kebijakan pembedaan pendidikan formal mandiri dan formal standar harus menjadi keberpihakan pemerintah kepada masyarakat miskin. Penghematan APBN dan aneka bentuk aset pendidikan potensial lainnya yang seharusnya disubsidikan kepada sekolah formal mandiri, tidak boleh dikalkulasi sebagai penghematan guna mengurangi beban finansial pemerintah, tetapi harus dialihkan untuk menambah subsidi pemerintah dalam kerangka mempercepat peningkatan mutu pendidikan formal standar. Dengan demikian, keberpihakan pemerintah kepada pendidikan formal standar merupakan wujud keberpihakan berkeadilan kepada sebagian besar masyarakat lemah.
Di tengah dikotomi yang umumnya tidak memberi peluang bagi yang lemah, aneka kebijakan pemerintah yang hanya menggunakan asas kesamaan hak dan kewajiban, belumlah cukup. Dalam kondisi seperti ini, demi keadilan sejati, aneka kebijakan pemerintah tentang pendidikan seharusnya selalu berpihak kepada masyarakat miskin, terpinggirkan, yang menjadi mayoritas penghuni negeri ini.
Bentuk-bentuk ketidak adilan pemerintah dalam soal anggaran misalnya; hasil penelitian Central Independent Monitoring Unit (CIMU) mengenai bantuan DBO dan OPF menyatakan bahwa banyak sekolah-sekolah negeri yang semestinya tidak mendapatkan bantuan, tetapi memperoleh bantuan; sebaliknya banyak sekolah-sekolah swasta yang mestinya mendapatkan bantuan, tetapi tidak memperoleh bantuan. LaporanAsian Development Bank (ADB) juga menyebutkan hal yang senada. Setiap siswa SLTP negeri rata-rata mendapat bantuan 376 ribu rupiah dalam satu tahun dan setiap siswa MTs negeri 296 ribu rupiah. Sementara itu siswa SLTP dan MTs swasta hanya 21 ribu rupiah setiap anak per tahun. Untuk siswa SD, MI, SMU, MA, SMK, dan PT kondisinya serupa.
Jadi, kalau kita ingin merealisasi konsep kesetaraan kualitas antara pendidikan negeri dan swasta, Madrasah dan sekolah umum, sikap dan perlakuan pemerintah harus diubah. Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan harus dijunjung tinggi sehingga pemerintah benar-benar dapat bersikap dan berlaku transparan, akuntabel, serta adil baik terhadap lembaga pendidikan negeri maupun swasta, pendidikan keagamaan maupun sekolah umum, dalam kerangka pengembangan pendidikan nasional
Bila menengok ke belakang, sebenarnya masih banyak kontradiksi lain dalam kebijakan pendidikan nasional. Salah satunya yang telah berlangsung begitu lama adalah pandangan terhadap arti pendidikan itu sendiri. Dalam berbagai retorika, baik dalam masa kampanye pemilu maupun dalam upacara-upacara, sering disebut bahwa pendidikan itu sangat penting dan sangat strategis dalam konteks peningkatan kualitas SDM.
Akan tetapi, ketika berhadapan dengan konsekwensi akan kebutuhan dana yang besar, keyakinan itu seolah-olah lenyap begitu saja. Pendidikan jadi sekadar cukup penting, agak penting, bahkan tidak begitu penting. Bukti nyata akan hal ini adalah masih belum terealisasinya proporsi 20 persen APBN bagi anggaran pendidikan nasional. Alasannya, dana negara belum memadai, atau akan dipenuhinya secara bertahap.
Padahal, kebijakan tentang proporsi 20 persen mestinya tak perlu menunggu dana besar karena proporsi tidak bergantung pada total nilai APBN. Proporsi hanya ditentukan oleh variabel konsistensi terhadap keyakinan bahwa pendidikan memang penting. Selama keyakinan ini tidak konsisten, tentunya akan merasa berat untuk mewujudkan proporsi 20 persen. Meski secara eksplisit telah masuk dalam perundang-undangan.
Inilah dunia pendidikan nasional yang syarat kontradiksi. Manajemen pendidikan katanya harus berbasis sekolah (ingat MBS), tetapi dalam pelaksanaannya kepala sekolah masih sangat bergantung pada kebijakan birokrasi di atasnya. Guru katanya merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan, nyatanya, hingga kini nasibnya belum banyak yang terentas dari keterpurukan. Guru dituntut untuk senantiasa belajar meningkatkan kompetensinya, tetapi kenyataannya, kegiatan pelatihan cenderung hanya bernuansa proyek. Padahal, membeli buku, koran, dan majalah gajinya tidak cukup, apalagi mengakses internet. Alhasil, selama kebijakan-kebijakan pendidikan masih penuh dengan kontradiksi-kontradiksi, jangan harap akan terjadi lompatan signifikan terhadap kualitas pendidikan di masa depan.

C. Mutu Pendidikan
Dalam kerangka umum, mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasilpendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
            Berbicara mutu pendidikan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional telah jelas menyatakan bahwa :
Pasal 5 ayat (1) bahwa “ Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.  Pasal 10 bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 
            Pasal 13 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) juga menyatakan bahwa :
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”.
            Dan Pasal 34 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005  ayat (3) juga menyatakan bahwa:
 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Melihat penjelasan dari pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, jelaslah bahwa kualitas mutu pendidikan adalah menjadi suatu kebutuhan dan tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah bersama-sama penyelenggara pendidikan untuk kemudian diterima oleh setiap peserta didik. Karena memperoleh pendidikan yang bermutu juga hal semua siswa, tidak hanya siswa yang kaya atau siswa yang belajar di sekolah yang disebut dengan kategori “favorit dan unggul” saja, melainkan juga siswa yang belajar pada semua tingkatan. Oleh karena itu, maka tidak mungkin dapat dicapai suatu lulusan yang bermutu apabila masih banyak terjadi perbedaan dalam segala aspek pada lembaga-lembaga pendidikan. Terlebih dalam hal yang langsung terkait dengan sarana penunjang kegiatan belajar mengajar.
Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, UAS atau UN). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukanbenchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Oleh karenanya, manajemen sekolah, dukungan kelas adalah berfungsi untuk mensinkronkan berbagai input atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Sehingga dengan skenario yang demikian akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
Kualitas pendidikan sebagai pengejawantahan dari suatu hasil mutu pendidikan adalah sangat  terkait dengan (i) kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas, penilik), (ii) kurikulum pengajaran, (iii) metode pembelajaran, (iv) bahan ajar, (v) alat bantu pembelajaran, dan (vi) manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu seyogyanya  menjadi perhatian yang serius.
Indikator kualitas ditandai oleh beberapa aspek yang meliputi : (1) Konteks pendidikan atau lingkungan di mana sekolah tersebut berlokasi; (2) Masukan yang terdiri atas rencana, sumber daya manusia, fasilitas/sarana, dan manajemen; (3) Proses pengelolaan organisasi, belajar-pembelajaran, dan penilaian; (4) Hasil yang berupa pencapaian akademik, peningkatan keterampilan, serta perubahan sikap dan perilaku; (5) dampak yang meliputi keberhasilan studi lanjut, kesiapan kerja, perolehan pendapatan, dan meningkatnya citra sekolah sebagai komponen integral sistem pendidikan nasional (Miarso, 2005 : 737).
Berbicara mengenai kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usahapembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan UAN siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan   (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua,pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Mencermati persoalan-persoalan di atas, tentunya jika kita membincangkan masalah kualitas atau mutu pendidikan adalah tidak bijak manakala semua kekurangannya terlebih kesalahannya ditumpahkan pada sekolah semata, sebagai pengelola kegiatan proses belajar mengajar. Namun juga ada faktor lain yang terlibat di dalamnya, seperti regulasi kebijakan yang mengarah pada daya dukung peningkatan mutu, seperti distribusi tenaga guru yang cukup merata dan tidak menumpuk pada sekolah-sekolah negeri dan di perkotaan saja, dan juga distribusi bantuan sarana-prasana oleh pemerintah. Di samping regulasi kebijakan pemerintah juga daya dukung masyarakat baik dalam keterlibatannya untuk mengontrol kualitas maupun partisipasinya dalam bantuan sarana-prasarana.
Menurut Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara lain : (1) Tingkat pendidikan masyarakat relatif  rendah, (2) Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan,  (3) Kesenjangan tingkat pendidikan, (4) Good Governance yang belum berjalan secara optimal, (5) Fasilitas pelayanan pendidikan yang  belum memadai dan merata, (6) Kualitas pendidikan relatif rendah dan  belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik, (7) Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK, (8) Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien, (9) Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai (Uhar Suharsaputra:2007).
Permasalahan tersebut di atas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar  pembangunan negara. Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan  pada upaya : (1). Perluasan dan Pemerataan Pendidikan (2) Mutu dan Relevansi Pendidikan dan (3). Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.

Sumber: http://meretasmasadepan.blogspot.com/2011/03/mutu-pendidikan-di-atas-ketidak-adilan.html